Wednesday, July 8, 2009

Sketsa 2 - Momento Mori


Memento mori is a Latin phrase meaning "Remember you shall die". It
names a genre of artistic creations that vary widely from one another,
but which all share the same purpose, which is to remind people of their own mortality - wikipedia

Aku pernah baca cerita pendek tentang Sir Alfred Nobel yang dapat visi
tentang kematiannya. Di visi itu, dia mendapati bahwa kematiannya
dikomentarin dengan dahsyatnya. Tapi sebagian besar justru komentar
miring ... Betapa dia dilabel sebagei manusia penghancur. Pembunuh
massal. Jagal modern dan sebagainya. Semua itu karena temuan dan
industri dinamit-nya.

Weleh-weleh.... Lha wong pasti diawal penciptaannya itu, kan dia mau
menyumbangken sesuatu yang baek to? Memudahken penambangan batu bara,
mempercepet pembongkaran bangunan reyot yang jelas jelas cuman bakal
jadi sarang penyamun (yang pastinya bukan dari era Ali Baba) dan laen
sebageinya. Ya toh? Lha apa bedannya sama penemuan pisau ... Bisa buat
alat bantu masak sekaligus alat bantu pelaku mutilasi. Jarum ...buat
njait, sekaligus sarana para junkies buat teler (moga moga cepet sadar
atopun cepet pindah alam). Lha wong benda sekecil peniti aja bisa jadi
nbantu banget dalam kasus dedel-nya (sobek sedikit) celana kantor atopun
di"pindahkan" ke dalem perut oleh para dukun santet. Nah, jelas bukan
karena benda yang diciptakan to? Tapi tergantung dari ...benda itu
dipake buat apa?!

Tapi sebenernya aku buka mau terlalu jauh mikirin Nobel, piso, peniti
bahkan dukun santet. Yang cukup menghentak waktu aku baca cerita tentang
Sir Alfred Nobel adalah fakta bahwa gak semua orang punya kesempatan
buat dapet visi tentang hari setelah kematiannya. Sebenernya sih kita
bisa bilang ...

"Ah, kumaha enke kemawon lah" ..lha ngapain dipikirin. Kan kitanya juga
udah gak bisa protes lagi.

Betul sekali Jo!!! Gak salah sama sekali. Tapi, coba kita puter sedikit
persepsinya... Cara pandangnya.... Kacamatanya... Sepatunya... Hidup
kita memang tanggung jawab kita. Betul sekali. Tapi Jo ... Yang namanya
tanggung jawab teh nggak brenti sampe ego kita kan? Orang tua, istri,
anak, sodara, lingkungan...masakarat kan juga jadi porsi tanggung jawab
kita? Bentul?

Nah kalo gitu setuju dong yah ...mikirin apa jadinya dengan "kita"
...image kita, citra kita ... Even stelah kita "berpulang" masih harus
jadi persiapan kita. Aku cuman kebayang anak-anakku, yang jelas2 potensi
masa depannya lebih panjang dari umurku...

Setelah aku jadi bagian pupuk yang bikin taneman subur sekalipun, secara
teori mereka masih punya waktu 30-40 taun untuk dimaksimalken. Apa
jadinya kalo bapaknya (amit-amit jabang disko!!!) ini buajingan
teladan... Sampe sampe mereka harus hidup dalem naungan lebel
Badjingan... For the rest of their precious life? Aku gak mau! Aku gak
rela! Mereka harus bisa punya kehidupan yang lebih baik dari si Paijo
ini. Mangka dari itu si Paijo ini harus mencoba sekuat kuatnya untuk
jadi orang bener.

Ada cara pandang dari sisi lain yang bisa jadi perspektip alternatip...
orang tua - orang tua kita, biasanya menghubungkan juga Jumlah Orang
yang datang ke acara penghormatan terakhir ato yang melayat ke rumah
duka seseorang ato juga yang mengantarkan sampai ke peristirahatan yang
"moga-moga" terakhir ... karena gak jarang di kota-kota besar ...
"mantan orang" yang sudah gak bisa protes ... terpaksa pindah dari
Sasana Perlaya-nya karena urusan Kompleks mentereng, apartemen mewah
bahkan kantor Instansi (hehehe ... ironis) ... kembali ke pembicaraan
semula ... kalo yang dateng makin banyak ... KATANYAAA ... orang itu
pada masa hidupnya... bener-bener menyentuh banyak hati dan jiwa.
Sehingga banyak juga yang berduka dengan kepulangannya. Well .. ketewel,
moga-moga bukan karena berharap bisa bertemu dengan achli waris (kalo
toh masih ada yang diwariskan .. ato malah dari wasir ... karena yang
diwariskan malah bencana...) untuk "menyelesaikan" beberapa urusan yang
belum terselesaiken dengan almarhum.

Jadiii ... kalo Paijo mencoba menerawang ... ternyata urusan mati juga
sekompleks bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri. Yang bener-bener
jawara adalah orang yang berani hidup (dengan sebaik-baiknya ... dengan
maksimal ... dan meninggalkan kesan pada hidup, hati dan jiwa orang
lain) daripada sekedar Manungsa Jumawa (gak pandang gede-kecil, sangar
atopun kalem) yang tepuk dada dan bilang "Saya Berani Mati!!!".

Paijo kembali mencoba nerawang ... Momento Mori ... frase 2 kata ini
ternyata dalem sekali maknanya. Sir Alfred Nobel kontan banting setir
... dari industri dinamitnya. Bahkan sempe sekarang .. yayasan dana
abadinya, terus ngasih penghargaan untuk individu dan institusi yang
jelas-jelas bisa memberikan sumbangsih yang signifikan untuk perdamaian
dunia atopun meningkatkan nilai hidup manusia.

PERTANYAANNYA ... Paijo bukan Sir Alfred Nobel ... apa yang bisa aku
lakukan? Aku bisa mimpi besar ... kadang-kadang orang menunda kebaikan,
perubahan ke arah perbaikan, kebahagian dan lain sebagainya dengan
alasan super klasik, "Ntar aja lah ... gue jadi orang baiknya ... nolong
orangnya ... bahagianya ... sayang sama keluarganya ... KALO UDAH PUNYA
DUIT BANYAK!" ... ada solusi sederhana buat Paijo yang notabene orang
sederhana (walaupun otaknya Paijo jelas-jelas bin terang-terangan sama
sekali dan jawuuuuh dari sederhana ... hehe! Suka njelimetin idup
sendiri...):

Paijo harus belajar dan terus berusaha untuk jadi menungso yang berguna
... menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari sikap sombong ("Kesombongan
adalah hal yang terdekat dengan dosa", gitu kata mbak kakung-ku) ...
punya inisiatif untuk memberikan nilai positif ke lingkungannya, no
matter how simple kelihatannya ... "Senyum duluan kan gak susah yah?",
seru guru Biologi SMA-ku yang mirip Elpis Preslih ...

Mau terus menerus menempa diri untuk jadi orang yang lebih baik ...
"Sing waras ngalah" ... mungkin itu frase favoritku ... untuk mencoba
menekan emosi dan managing expectation ... bukan artinya kita harus
terus menerus mengalah ... apalagi untuk selalu jadi pihak yang kalah.
Salah sakali ... ndak begitu. Tapi ... pada saat emosi kita gak meledak
ledak, pikiran kita lebih tenang ... sehingga tutur kata kita, jalur
pemikiran kita ... tetep pada alur yang kita harapken. Gak tiba-tiba
salah ngomong yang akibatnya fatal ... apalagi kalo kesemuanya itu jadi
Lebel pribadi kita ... for the rest of our life ... apalagi "selama nama
kita dikenang" ... kita tahan diri, kontrol emosi ... untuk mengambil
langkah terbaik yang bisa kita ambil.

Sambil masih terngiang-ngiang (dalem kepala) akan buanyaknya alternatip
plot untuk refleksi ini, aku duduk (sesekali) nyender dan ngelus perutku
yang cenderung cembung ... banyaknya PR yang harus aku lakuken ...
dengan mengingat 2 frase yang dahsyat itu... Momento Mori.

Smoga buah pemikiran ceplas ceplos ini ... bisa memberikan makna bagi
siapapun yang membacanya ... bahkan untuk aku sendiri ... setiap kali
aku mbaca jurnal lelaki jogja ini.

Era gombalisasi ... ternyata plot-mu tetep di alurnya ... yang sama
sekali gak gombal. Refleksi perjalanan dan pemikiran hari ini, kembali
membawa dan mengingatkan untuk selalu legowo dengan apapun yang kita
hadapi di dunia ini ... Dan seberaapa banyak ARTI yang sudah kita
torehkan dalam kehidupan kita di dunia ini. Jojo Paijo melaporkan untuk
Book of Jo.


Sent from my BlackBerry®

powered by Sinyal Kuat INDOSAT

No comments:

Post a Comment